
natreve.com – Latar Belakang & Gambaran Umum
Raja Ampat—dikenal sebagai kawasan super prioritas konservasi dan wisata bahari global—sedang mengalami lonjakan aktivitas pertambangan nikel, mencakup pulau‑pulau kecil seperti Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele. Aktivitas ini mendapat tentangan lokal dan internasional karena potensinya merusak ekosistem laut dan hutan konservasi .
5 Perusahaan & Kegiatan Tambang
1. PT Gag Nikel (anak usaha PT Antam, BUMN)
- Lokasi: Pulau Gag
- Luas konsesi: 13.136 ha (6.060 ha darat + 7.076 ha laut), hampir mencakup seluruh pulau dan perairan sekitarnya.
- Status: Kontrak karya sejak 1998; produksi aktif sejak 2018.
- Dampak lingkungan: Air laut di sekitarnya sempat keruh, indikasi sedimentasi tinggi.
- Tanggung jawab sosial: Mengklaim mempekerjakan tenaga lokal, CSR di bidang infrastruktur dan konservasi (penyu, terumbu karang). Namun DPR menyorot kurangnya transparansi CSR dan pekerja lokal
2. PT Kawei Sejahtera Mining
- Lokasi: Pulau Kawe, Distrik Waigeo Barat
- Luas IUP: sekitar 5.922 ha (mulai 2013 hingga 2033).
- Kepemilikan: Dipimpin oleh pengusaha lokal, Daniel Daat.
- Kontroversi: Pernah terjadi bentrok perizinan dengan PT Anugrah Surya Indotama, bahkan intervensi militer untuk mencegah pengapalan nikel.
3. PT Anugerah Surya Pratama (atau Anugrah Surya Indotama)
- Lokasi: Pulau Manuran dan wilayah kepulauan Waigeo.
- Luas IUP: sekitar 9.365 ha + tambahan 1.167 ha di Manuran.
- Kepemilikan: Berbasis di Jakarta, afiliasi kuat dengan kalangan politisi/tertentu .
- Dampak: Laporan aktivitas tambang destruktif yang menyebabkan sedimentasi dan kerusakan karang, menyulitkan mata pencaharian lokal .
4. PT Mulia Raymond Perkasa
- Lokasi: Pulau Manyaifun dan Batang Pele.
- Luas IUP: sekitar 2.194 ha, mulai survei & sampling sejak September 2024.
- Reaksi lokal: Ada protes keras dari masyarakat adat dan pelaku wisata; baliho “Tolak keras aktivitas tambang” dipasang di Waisai.
5. PT Anugerah Peratiwi Indotama
- Tercatat memiliki IUP di wilayah Raja Ampat (Saukabu, Waigeo Barat) sejak 2010, luas sekitar 8.850 ha.
- Aktivitasnya berkategori eksplorasi, belum seterkenal perusahaan di atas, tetapi turut menambah tekanan ekologis dan sosial di kawasan konservasi.
Dampak Lingkungan & Sosial
- Kehilangan konservasi: Hutan lindung dirusak; lebih dari 500 ha hutan tropis sudah dibersihkan di beberapa pulau
- Sedimentasi laut: Lumpur dari tambang menyebar ke terumbu karang, memicu kematian ekosistem laut .
- Mata pencaharian terganggu: Masyarakat adat khawatir kehilangan mata pencaharian dari perikanan, pertanian, dan pariwisata.
- Konflik dan demonstrasi: Aktivitas tambang memicu petisi, aksi penolakan dari masyarakat adat, pelaku wisata, dan aktivis ekologi .
Respon Pemerintah & Langkah Pengawasan
- Pemerintah pusat sempat memberlakukan moratorium produksi di beberapa lokasi—termasuk operasi PT Gag Nikel di Gag Island.
- DPR bersama Kementerian ESDM dan KLHK mendorong audit izin dan transparansi CSR oleh perusahaan seperti PT Gag Nikel .
- Tuntutan penghapusan permanen izin tambang di kawasan konservasi masih mengemuka dari legislatif dan organisasi lingkungan .
Ringkasan Proyek dan Isu
Perusahaan | Lokasi | Luas IUP (ha) | Status & Aktivitas | Catatan Utama |
PT Gag Nikel (Antam) | Pulau Gag | 13.136 | Produksi aktif sejak 2018; klaim CSR & konservasi | Kritik atas sedimentasi & CSR |
PT Kawei Sejahtera | Pulau Kawe | ~5.922 | Eksplorasi sejak 2013; tunggal lokal | Pro-kontra lokal |
PT Anugerah Surya Pratama | Pulau Manuran/Waigeo | ~9.365 +1.167 | Produksi; konflik perizinan | Sedimentasi, hak masyarakat |
PT Mulia Raymond Perkasa | Manyaifun & Batang Pelei | ~2.194 | Survei sejak Sep 2024 | Penolakan warga & wisata |
PT Anugerah Peratiwi Indotama | Waigeo Barat (Saukabu) | ~8.850 | Eksplorasi | Tambahan zona eksplorasi |
Kelima perusahaan ini sedang mengekspansi aktivitas tambang nikel di area yang sangat rentan—di dalam dan sekitar konservasi laut/hutan Raja Ampat. Di satu sisi, mereka mengklaim membawa pembangunan ekonomi baliprov, lapangan kerja, dan CSR. Di sisi lain, resistensi masyarakat adat, pelaku pariwisata, serta kalangan lingkungan—bersama tekanan dari DPR—menbutkan pengawasan lebih ketat dan bahkan usulan peninjauan ulang atau pencabutan izin tambang guna melindungi ekosistem yang sangat rentan dan bernilai global.